Oleh : Thoriq Fahreza
Tulisan ini yang mendasari atas keresahan penulis akhir-akhir ini tentang kondisi ataupun iklim per“sepakbolaan” negeri ini.
Tan Malaka pernah menganalogikan perjuangan bangsa melalui sepak bola dalam bukunya yaitu madilog, “apabila kita menonton suatu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu, bingunglah kita . kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak”(Hal 45), sehingga munculah wejangan Tan Malaka dalam bentuk Sepak Bola adalah alat perjuangan. hal tersebut yang mendasari bahwa Tan Malaka menjadikan sepak bola sebagai media ataupun alat untuk mengkomunikasikan rasa Nasionalisme.
Dalam sejarahnya, pemerintah kolonial Belanda menunjukan superioritas atas Sepak Bola dengan menaruh papan yang bertuliskan “Vorboden voor irlandiers en houden” yang berarti “dilarang masuk untuk anjing dan pribumi” pada beberapa lapangan bola di Batavia saat itu. Di saat Indonesia dijajah oleh Jepang, Tan Malaka melakukan beberapa pertemuan rahasia untuk menggagas suatu perlawanan terhadap para penjajah melalui beberapa pertandingan Sepak Bola.
Keeratan antara suatu sikap Nasionalisme dengan Sepak Bola menjadi semakin intim, kekerasan berdiri di antara kedua hal tersebut. Dilihat dari sejarahnya olahraga ini diperkenalkan oleh pihak kolonialis, kemudian yang menjadi sebuah alat atupun senjata perjuangan dan perlawanan bagi para kaum-kaum nasionalis untuk melawan penjajah. Sepak Bola adalah olahraga tapi, bukan hanya olahraga saja Sepak Bola bisa menjadi sebuah medan peperangan. Hal itu lah yang menjadikan Sepak Bola Sebagai Alat Perjuangan.
Kita semua melihat Sepak Bola merupakan salah satu olahraga yang memiliki daya tarik tinggi dan daya ledak yang besar, yang bisa dibilang Sepak Bola ini memiliki Bom Waktu yang dapat meledak kapan saja tapi, yang dalam maksudnya bukan hanya dalam konotasi negatif, bisa juga dalam hal positif. Contohnya dalam kutipan “ketika Tuhan Meninggalkan Kita, Kisah Tidak Biasa Dalam Sepak Bola” karya Fajar Harimurti yang menjelaskan Bahwa sepak bola itu dapat menjadi sebuah alat perlawanan dengan mengambil contoh historis mengenai peran Maradona di Napoli yang mana menurut Fajar Harimurti kehadiran Maradona sebagai bentuk perlawanan wilayah selatan terhadap hegemoni utara di Italia.
Lain dulu, lain juga sekarang andaikata Tan malaka masih hidup di zaman sekarang mungkin ia akan tertawa dengan terheran-heran atau bahkan ia akan sedih se sedih-sedihnya melihat kondisi persepakbolaan negeri ini yang serba tidak gonjang ganjing tidak jelas, satu sisi sepak bola sebagai alat perjuangan bagi rakyat untuk memperjuangkan ekonominya, dan di sisi lain merupakan bahan perjuangan untuk para mafia-mafia bola di negeri ini sebagai bentuk penyiksaan terhadap rakyat.
konsepsi dan perkataan Tan Malaka apabila ditarik pada zaman sekarang, pantas untuk mendeskripsikan para petinggi-petinggi, para elit yang sering berseteru. Jika dilihat beberapa saat yang lalu kita pernah mendengar "buaya vs cicak", yang mana hal tersebut bisa memecah belah dukungan rakyat kepada salah satu lembaga tertentu. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak akan membahas mengenai hal tersebut. Ketidaktransparanan serta adanya ketegangan yang sering terjadi antara elit-elit yang berkuasa dalam politik, ternyata juga mencerminkan kondisi yang sama dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola. Sama halnya dengan perpecahan yang terjadi di kalangan elit, masalah dalam federasi sepak bola tanah air juga semakin memperburuk citra dan perkembangan olahraga ini.
Banyak sekali borok federasi Sepak Bola di negeri ini dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam Sepak Bola negeri ini, seperti permaslahan kasus pengaturan skor, ke-tidak transparannya suatu pertandingan, wasit-wasit bermasalah, match fixing, dan sebagaimananya serta termasuk didalamnya yaitu tragedi kanjuruhan yang masuk urutan kedua dalam tragedi sepak bola di dunia setelah tragedi estadio nasional peru. Hal tersebut diselesaikan dengan kurang transparan, serta sangat berdampak kepada ekosistem persepakbolaan itu sendiri. Karena ketika para supporter bola memperjuangkan klubnya supaya tidak dijadikan alat mainan bagi para mafia, sebaliknya para orang-orang di dalam federasi yang “tidak sehat” menjadikan ini suatu tontonan yang menarik. Akan tetapi federasi tetap tidak mau me”revolusi” hal tersebut maka bisa dibilang suatu kesia-siaan.
Tidak jarang, bahkan sering juga terjadi perselisihan mengenai hasil akhir dari suatu pertandingan sepak bola itu sendiri. Kurangnya transparansi dan sering kali terdapat anehnya keputusan wasit yang semakin membuktikan itu sebagai match fixing dan juga sebagai ladang pendapatan para Bandar dan mafia bola, dan tetap yang menjadi korban utamanya adalah rakyat penikmat bola itu sendiri. Yang mana Sepak Bola pada awalnya sebagai alat perjuangan dan sebagai hiburan rakyat, sebaliknya sekarang seringkali sebagai alat penyiksa rakyat. Banyak juga supporter yang memperjuangkan keadilan-keadilan bagi klubnya, dalam hal ini saya mengambil contoh Persebaya Surabaya, ketika pada saat itu mengalami dualisme klub dan para supporter yang biasa disebut bonek, berjuang demi persebaya yang asli supaya bisa bertanding di liga resmi di negeri ini. Dalam hal itu dapat dijadikan suatu penerapan analogi dari Tan Malaka yaitu “Sepak Bola adalah Alat Perjuangan”.
Kemudian, dengan dilarangnya para supporter untuk melakukan tandang atau biasa disebut “away”, hal itu juga berdampak kepada ekonomi para pedagang-pedagang yang berhubungan langsung dengan seputar Sepak Bola, oleh karena itu banyak juga para supporter yang menyuarakan perdamaian seperti slogan “Football For Unity” dan “football for Humanity” pada dasarnya mengutamakan persatuan dan kemanusiaan, supaya tragedi itu tidak terulang kembali di negeri ini, serta pada intinya salah satu tujuannya yaitu dapat membantu perekonomian di sekitar ataupun di kota-kota yang dituju ketika laga tandang.
Kali ini saya tidak berbicara tentang timnas, memang pada saat ini timnas kita sedang baik baiknya, meskipun ada beberapa gonjang-ganjing dalam prosesnya, saya rasa adalah suatu hal yang wajar. Tapi kita juga tidak boleh melupakan liga kita, yang mana liga kita itu menjadi salah satu penopang ekonomi rakyat. Karena Ketika para supporter bola memperjuangkan klubnya supaya tidak dijadikan alat mainan bagi para mafia, sebaliknya para orang-orang di dalam federasi yang “tidak sehat” menjadikan ini suatu tontonan yang menarik. Semoga saja pembenahan ini dapat berjalan secara beriringan.
Oleh karena itu, Sepak bola seharusnya menjadi alat perjuangan dan hiburan bagi rakyat, tetapi saat ini sering kali berfungsi sebagai sumber penderitaan akibat praktik-praktik kotor dalam industri ini. Saya berharap akan ada pembenahan yang sejalan dengan semangat perjuangan yang pernah ada, agar sepak bola kembali menjadi milik rakyat dan alat untuk memperjuangkan keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. Dari beberapa hal yang teruraikan dapat disimpulkan bahwa SepakBola bukan hanya sekedar permainan belaka, melainkan memiliki fungsi sebagai rangsangan dalam berpikir.
SALAM PERSMA! SALAM OLAHRAGA!
Komentar
Posting Komentar