Jember, 24 Maret 2025 – Ratusan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Jember Melawan menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Kabupaten Jember. Massa aksi turun ke jalan sebagai bentuk protes terhadap pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 20 Maret 2025. Aksi yang berlangsung sejak pukul 13.00 WIB diwarnai dengan orasi dan spanduk yang menuntut pemerintah untuk mengembalikan transparansi serta partisipasi publik dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Massa aksi juga mengecam berbagai kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi dan kebebasan sipil.
Pada aksi demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Jember, massa aksi menyampaikan tuntutan kepada DPRD Kabupaten Jember. Tuntutan yang diajukan pada 23 Maret 2025 adalah sebagai berikut:
1. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember menyatakan MENOLAK UNDANG-UNDANG TNI.
2. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember MENUNTUT REFUNGSI SISTEM KOMANDO TERITORIAL.
3. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember MENUNTUT TARIK SELURUH PRAJURIT AKTIF TNI DARI JABATAN SIPIL.
4. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember MENUNTUT HENTIKAN SEGALA BENTUK KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT.
5. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember MENUNTUT KEMBALIKAN TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI PUBLIK DALAM SETIAP KEBIJAKAN YANG DIKELUARKAN OLEH PEMERINTAH.
6. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember MENUNTUT TEGAKAN KEMBALI KEBEBASAN PERS.
7. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember BERKOMITMEN untuk selalu berpihak pada kepentingan rakyat dan bertindak atas suara rakyat.
8. Bahwa kami DPRD Kabupaten Jember akan MENINDAKLANJUTI aspirasi dari Solidaritas Jember Melawan sejak surat ini ditandatangani.
Berlakunya UU TNI yang baru disahkan tersebut menimbulkan rasa kecewa yang mendalam bagi masyarakat. Dalam aksi demo kemarin, massa melakukan long march sambil orasi dan tetap kondusif sesuai arahan koordinator lapangan, sepanjang jalan sebelum memblokade pintu gerbang belakang dan depan gedung DPRD, massa aksi kompak menyanyikan dengan suasana yang kondusif sesuai arahan koordinator lapangan. Lalu mereka melanjutkan orasi di bundaran DPRD tepatnya pada Jalan Kalimantan, semua massa aksi melebur menjadi satu dengan nama “Solidaritas Jember Melawan” sampai aparat kepolisian (Polres dikerahkan) untuk mengawal aksi. Lucunya ditengah mereka melakukan long march anggota kepolisian Kabupaten Bondowoso juga dikerahkan untuk mengawal.
Tepat jam 14.00 WIB di depan gedung DPRD massa aksi menunggu keluarnya anggota DPRD namun akses untuk bermediasi dibatasi menggunakan kawat berduri, hal ini menandakan adanya ketimpangan kelas antara rakyat dan wakil rakyat yang mana harusnya semua duduk sama rata, para anggota dewan awalnya hanya menyaksikan lewat balkon atas dengan wajah tertawa tanpa memperdulikan massa aksi yang menuntut turun bermediasi bersama rakyat. Penjagaan ketat dilakukan aparat kepolisian agar gedung DPRD steril padahal fasilitas dan gedung tersebut dibangun dengan uang rakyat. Tindakan mereka yang awalnya apatis terus menerus dikecam oleh massa, hingga tepat pada pukul 14.19 terjadi cekcok antara masa yang menuntut para dewan untuk turun dengan aparat yang menahan mereka. Massa aksi melayangkan protes dengan melempar uang koin di depan aparat sembari memutar lagu “Bayar Polisi”. Setelah perdebatan yang lumayan lama akhirnya Ketua DPRD Jember turun dengan beberapa perwakilan fraksi partai.
Sebelum mulainya mediasi para anggota dewan diminta untuk memperkenalkan diri dan fraksinya, semula hanya 4 fraksi yang hadir namun masa terus mendesak agar semua fraksi dapat hadir dan mediasi bersama. Tak lama kemudian 3 fraksi lainnya menyusul hadir di tengah gerimis. Koordinator lapangan langsung menyampaikan apa yang menjadi keresahan masyarakat diantaranya kecacatan secara formil pembentukan RUU TNI dan beberapa sub tuntutan lainnya. Masyarakat resah akan kembalinya dwifungsi TNI namun fraksi komisi 6 memastikan bahwa dwifungsi TNI tidak terjadi di Indonesia. Koordinator lapangan terus mencecar para anggota DPRD, ketika forum mulai dikuasai oleh para anggota dewan laki-laki, anggota dewan perempuan hanya diam bersembunyi di tengah kerumunan. Hal ini menunjukkan bahwa dewan DPRD Jember masih patriarkis sewaktu penyampaian pendapat dalam forum. Massa aksi menduga mereka bekerja hanya untuk makan dan tidur saja karena saat di layangkan tuntutan mereka bahkan belum membaca draft UU TNI. Masa aksi juga menginisiasi agar disambungkan ke perwakilan fraksi yang ada di Senayan, ketika sudah disambungkan mereka meminta keterangan salah satu anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Gerindra pada saat pengesahan UU TNI beberapa kali mereka dibuat kelabakan dengan cecaran koordinator aksi dan perwakilan mediasi anggota. Lalu ia menyatakan bahwa selalu mempertimbangkan dan mendengar aspirasi rakyat, hingga pada saat pertanyaan dari salah satu mahasiswa “rakyat mana yang mereka wakili?” telepon tiba-tiba ditutup sepihak dengan alasan ramai dan jaringan jelek. Dialog dilakukan sampai semua anggota dewan berbicara sesuai dengan kapasitasnya baik perempuan dan laki-laki semua harus dapat menjawab kebingungan rakyat agar masa dapat memastikan bahwa mereka tak salah memilih wakil rakyat, namun jawaban mereka berulang kali blunder dan tidak memiliki dasar hanya membicarakan basa-basi dan omong belaka. Tidak ada kemarahan yang menciptakan anarkisme pada mediasi semua dewan diberi tempat untuk berdialog, hingga kehujanan pun mereka tetap duduk bersama di depan gedung tanpa berteduh kecuali beberapa aparat kepolisian yang takut hujan. Sampai saat massa aksi mengajukan negosiasi dengan membacakan dan menandatangani pakta integritas para dewan sepakat untuk direkam di hadapan massa aksi sampai akhirnya mereka kabur dengan alasan ingin segera sholat ashar dan berbuka puasa. Sebelumnya para dewas menjamin akan kembali menemui massa aksi, tetapi janji tersebut di ingkari dan massa aksi dibiarkan menunggu didepan gerbang gedung DPRD Jember.
Massa aksi terus menduduki gedung DPRD karena menunggu janji dewan yang menjamin akan kembali lagi menemui massa aksi, tetapi para dewan tidak ada satupun yang kembali. Sampai pukul 18:00 aparat keamanan memaksa para massa aksi untuk membubarkan diri dengan alasan peraturan dan keamanan. Sempat terjadi cekcok antara aparat keamanaan dan massa aksi akan hal tersebut, padahal massa aksi berjanji bahwa tidak ada lagi penyampaian pendapat dan hanya berkumpul saja, tetapi pihak aparat keamanan tetap keras kepala dan menyampaikan bahwa akan memukul mundur jika tidak membubarkan diri, padahal massa aksi selama melakukan demonstrasi tidak melakukan tindakan anarkis. Aparat keamanan lupa bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan untuk berserikat dan berkumpul seperti yang tertuang pada pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Melalui aksi ini mencerminkan bahwa kegelisahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak melibatkan partisipasi publik dan cenderung mengancam nilai-nilai demokrasi. Solidaritas Jember Melawan menegaskan bahwa mereka akan terus mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan aspirasi rakyat didengar serta diimplementasikan secara nyata.
Para anggota DPR sebagai pihak legislator sering kali mengklaim bahwa pengesahan UU TNI ini telah dilakukan atas dasar aspirasi rakyat. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik. Proses pengesahan justru dilakukan secara diam-diam, tanpa transparansi dan keterlibatan publik yang memadai. Masih berlakukah prinsip “Vox Populi Vox Dei” ketika rakyat bersuara justru malah dibungkam, diabaikan, dan dihilangkan?
Jika benar undang-undang ini lahir dari suara rakyat, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: rakyat mana yang telah ditemui untuk membahasnya? Mengapa pembahasan dan pengesahan dilakukan tanpa keterbukaan? Jika aspirasi rakyat menjadi dasar utama, seharusnya ada ruang diskusi yang luas, melibatkan berbagai elemen masyarakat, dan bukan sekadar klaim sepihak dari pihak penguasa yang gelap mata. Bukan malah tutup telinga atas suara rakyat yang berkumandang dengan lantang.
Ketidakterbukaan ini menunjukkan adanya kepentingan tertentu yang ingin dipaksakan tanpa perlawanan. Lebih dari itu, ketidaktransparanan ini menandakan bahwa kekuasaan tidak lagi mendengar suara rakyat, melainkan semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, pengesahan UU TNI yang dilakukan secara diam-diam harus dikritisi dengan tegas. Demokrasi yang sehat tidak boleh hanya menjadi formalitas. Melainkan harus memastikan keterbukaan dan akuntabilitas yang jelas. Jika praktik-praktik seperti ini terus dibiarkan berjalan dalam kegelapan, maka rakyat berhak mempertanyakan: demokrasi untuk siapa?
Komentar
Posting Komentar